Komisi VII DPR RI didesak untuk menunda atau bahkan menghentikan pembahasan draft RUU Minerba jika hanya sekedar "kejar tayang" dan disinyalir sarat akan kepentingan sesaat saja.
- Menko Luhut Tegaskan Tak Pernah Ambil Keuntungan Pribadi dari Bisnis PCR PT GSI
- Haris Pertama Bantah Terlilit Utang, Desak Tangkap Aktor Intelektual Pengeroyokan
- Syahganda Divonis 10 Bulan Penjara, Rachland: Satu Menit Pun Tidak Pantas
Menurut Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, pihaknya mempertanyakan pembahasan RUU Mineba yang dikebut di akhir masa jabatan. Padahal, setiap tahun tak kurang-kurangnya desakan dari berbagai pemangku kepentingan mendesak penyelesaian RUU Minerba karena urgensinya.
Koalisi mengkhawatirkan adanya potensi "trade off" dalam pembahasan RUU Minerba. Pembahasan RUU Minerba yang sangat cepat ini jangan sampai menjadi "paket kilat" yang ujungnya hanya untuk kepentingan segelintir pihak semata.
"Pembenahan tata kelola sektor minerba dari hulu sampai hilir tetap harus menjadi semangat dalam pembahasan RUU Minerba yang berujung pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jangan sampai dirusak oleh mafia tambang yang mengintai pembahasan RUU Minerba ini," ujar Aryanto Nugroho dalam keterangannya dilansir Kantor Berita RMOL, Jumat (26/7).
Yang perlu dipastikan adalah pembahasan RUU Minerba harus benar-benar transparan, terbuka dan melibatkan partisipasi masyarkat secara luas. Jangan hanya pemerintah dan pelaku usaha yang dilibatkan dalam pembasan RUU Minerba ini. Akademisi, lembaga non pemerintah dan terutama masyarakat di sekitar wilayah terdampak harus benar-benar terlibat dalam pembahasan RUU Minerba ini.
Koalisi menduga, upaya percepatan pembahasan RUU Minerba ini salah satunya untuk mengakomodir upaya perpanjangan sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah dan akan berakhir dalam waktu dekat ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengembalikan draft revisi ke-6 Peraturan Pemerintah Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, kepada Kementerian ESDM yang akan menjadi landasan hukum dalam pemberian perpanjangan usaha kepada sejumlah pemegang PKP2B yang dalam waktu dekat akan berakhir. Kemudian, Kementerian ESDM juga mencabut Surat Keputusan (SK) pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sebelumnya diberikan kepada PT. Tanito Harum yang diterbitkan pada 11 Januari 2019 yang lalu.
Revisi UU Minerba yang lebih dari satu tahun "mangkrak" pasca ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna ke-22 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2017-2018 awal April 2018 lalu, tiba-tiba hendak dipercepat penyelesaiannya dengan waktu yang sangat tidak masuk akal.
Namun, koalisi melihat draft RUU Minerba yang disusun DPR, termasuk DIM Pemerintah justru sebaliknya, mengubah secara subtantif pasal 169 dari UU Minerba yang berlaku saat ini, dimana KK dan PKP2B mendapatkan perpanjangan otomatis selama dua kali 10 tahun dalam bentuk IUPK; KK dan PKP2B juga diberikan hak untuk mengusahakan kembali wilayah yang mendapat IUPK dengan luas wilayah sesuai dengan rencana kerja seluruh wilayah tambang dalam penyesuaian KK atau PKP2B.
Pekan lalu (18/7), Komisi VII DPR RI telah memulai agenda Pembicaraan Tingkat 1 draft Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) sekaligus membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah. Dalam rapat yang juga dihadiri oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, terungkap ada wacana untuk mempercepat penyelesaian RUU Minerba sebelum berakhirnya masa jabatan anggota DPR 2014-2019 atau hanya dalam jangka waktu 3 minggu.
Dalam Rapat Kerja tersebut, terungkap pula setidaknya ada 12 poin besar dalam DIM Pemerintah, yaitu : 1) Penyelesaian permasalahan antar sektor; 2) Penguatan konsep wilayah pertambangan; 3) Meningkatkan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi nasional; 4) Memperkuat kebijakan peningkatan nilai tambah minerba; 5) Mendorong kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan penemuan deposit minerba; 6) Pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan; 7) Mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dan UU No. 23 Tahun 2014; 8) Tersedianya rencana pertambangan minerba; 9) Penguatan peran pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah daerah; 10) Pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan PLTU
mulut tambang; 11) Penguatan peran BUMN; 12) Perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK dalam rangka kelanjutan operasi.
Dari 12 poin besar tersebut Koalisi memandang bahwa Draft RUU Minerba dan DIM Pemerintah sangat bermasalah karena tidak mencerminkan kedaulatan negara sebagaimana Pasal 33 UUD 1945; bertentangan dengan semangat pengembangan energi bersih terbarukan dan malah justru memberikan banyak insentif bagi eksploitasi batubara; tidak memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan; tidak memberikan perlindungan atas hak-hak dan keselamatan warga serta aspek sosial ekonomi lainnya. DIM RUU Minerba ini Justru memberikan peluang untuk "obral" sumber daya alam tanpa batas, serta berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang dituding menghalang-halangi kegiatan pertambangan.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Minerba terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Auriga, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lokataru, Indonesia Global Justice (IGJ).[aji
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Erick Ziarah ke Makam Ayah, Warganet Yakin Prabowo Tak Pilih Gibran jadi Cawapres
- Paslon Harmonis Siap Permudah Perijinan dan Jamin Keamanan Investor di Madiun Untuk Mengurangi Pengangguran
- Disambati Warga Surabaya, Cak Dedy Berjuang Agar Surat Ijo Dihapus